Demokrasi Milik Para Penguasa
Opini Ahmad Fathoni Fauzan
Menurut laporan data yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per
Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 persen dari total penduduk Indonesia.
Meski angka tersebut mengalami penurunan 0,52 juta dibandingkan dengan penduduk
miskin per September 2012 sebesar 28,59 juta (11,66) persen, namun pemerintah
masih belum dikatakan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
merata.
Indonesia seharusnya adalah bangsa
yang besar, wilayahnya amat luas, dengan sumber daya alamnya yang sangat
melimpah ruah dan tanah yang subur. Seperti apa yang dikatakan oleh MH Ainun
Najib, bahwa Indonesia adalah tegalan tanah surga. Sejatinya, hidup di negeri
surga (baca: Indonesia) tidak ada orang yang mati kelaparan karena faktor
kemiskinan. Namun realitasnya terbalik, banyak orang yang mati kelaparan. Siapa
yang salah?
Amartya K Sen (1981, 199) dalam studinya tentang kelaparan dan kemiskinan
mengatakan bahwa demokrasi yang dijalankan melalui proses pemilihan (electoral
process) akan memungkinkan kaum miskin untuk menghukum pemerintah yang
membiarkan kemiskinan terjadi. Secara teoritis, demokrasi seharusnya memberikan
kemakmuran pada rakyat. Sebab, keinginan rakyat dalam pemilihan langsung adalah
agar pemerintah terpilih bisa memperjuangkan hak-hak rakyat.
Namun, di Indonesia kita melihat realitas yang berbeda. Masih banyak busung
lapar, pengemis jalanan, mati kelaparan dan penderitaan lainnya. Harapan besar
rakyat terhadap demokrasi menjadi semu. Pemerintah yang semula menyuarakan
hak-hak rakyat, kini ibarat kacang lupa pada kulitnya. Pemerintah lebih
mementingkan dirinya sendiri daripada rakyatnya.
Negara seharusnya cepat tanggap apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Sebagaimana
yang ditegaskan oleh Alan H Peters dan Peter S Fisher dalam State Enterprise
Zone Program (2002) bahwa negara harus memberi penegasan sekaligus perlindungan
akses yang adil bagi semua warga dalam program pembangunan. Negara harus
memiliki pandangan yang menyeluruh, lengkap dan integral terhadap persoalan dan
kebutuhan warganya.
Membiarkan rakyat kelaparan dan terkungkung dalam kemiskinan, sama halnya
membunuh rakyat secara perlahan. Tumbuh suburnya kemiskinan di Indonesia akan
menghambat kemajuan negara. Bahwa Indonesia adalah negara kaya raya, tetapi
relitasnya masih banyak masyarakat miskin yang tidak diperhatikan. Kaum miskin
banyak diperhatikan ketika kampanye politik mulai dilancarkan.
Dalam teori kelaparan dan kemiskinan, Amartya K Sen (1999) juga menegaskan,
kelaparan akan membunuh jutaan orang di berbagai negara, tetapi kelaparan
tersebut tidak akan membunuh para penguasa. Jika tidak ada pemilihan umum,
tidak ada partai oposisi, dan tidak ada ruang bagi publik untuk mengkritisi
kebijakan yang dijalankan pemerintah, maka mereka yang memegang kekuasaan tidak
akan mengalami derita konsekuensi politik akibat kegagalan mereka untuk
mencegah kelaparan (kemiskinan). Demokrasi, disisi lain akan memberikan ruang
penghukuman bagi para penguasa yang membiarkan kemiskinan dan kelaparan
terjadi. (Teddy Lesmana, 2009).
Demokratisasi
Pertanyaan
yang patut kita jawab bersama adalah mengenai apa yang bisa diharapkan dari
demokrasi kepada kaum miskin? Sebab, yang diperlukan orang miskin adalah
kelayakan hidup dan kesejahteraan. Ini fakta umum yang dihadapkan sendiri oleh
masyarakat miskin. Sayangnya, kesadaran pemerintah belum sampai menyentuh
nuraninya.
Selama Era Reformasi, sudah tiga kali masyarakat Indonesia melaksanakan
pemilihan umum secara langsung, yaitu mulai dari tahun 1999, 2004 dan 2009.
Selama itu pula demokrasi mulai menetas kembali. Meskipun demikian, kemiskinan
tidak pernah bisa diselesaikan. Meleset dari analisis Amartya K Sen (1999)
bahwa demokrasi lebih baik dari pada non demokrasi dalam hal transmisi yang
berasal dari kaum miskin dan daerah-daerah terpencil kepada pemerintah pusat.
Lebih lanjut, Sen juga mengatakan bahwa negara yang menjalankan sistem
domokrasi cenderung membantu kaum miskin dengan menyediakan banyak barang publik
dan distribusi pendapatan yang lebih merata jika dibandingkan dengan sistem non
demokrasi. Teori tersebut mentah jika diterapkan di Indonesia, sebab demokrasi
yang dijalankan justru memperlebar jurang pemisah antara penguasa dengan kaum
miskin. Penguasa sibuk dengan dirinya sendiri, sedangkan kaum miskin sibuk
untuk mencari makan hari ini.
Terlepas dari hal itu, pengaruh politik kolonial nampaknya masih menyetir otak
pemerintahan kita di Era Reformasi saat ini. Sepanjang sejarah kemiskinan di
Indonesia, yaitu pada masa pemerintahan kolonial, kita masih mengenal yang
namanya “politik etis” alias balas budi. Nalarnya, Indonesia adalah negeri kaya
raya, tetapi rakyatnya miskin dan bodoh. Karena kaum kolonialis merasa telah
“merampok” kekayaan itu sehingga diluncurkanlah politik balas budi itu melalui
pendidikan, irigasi, dan kependudukan.
Gaya politik yang demikian itu juga dilanjutkan ketika masa Orde Baru dengan
menggunakan program pembangunan. Soeharto menjadi pandega yang mengatur
jalannya pembangunan. Melihat hal ini, jelas yang diuntungkan adalah penguasa,
sedangkan rakyat msikin menjadi tumbalnya. Politik semacam ini dinamakan tickle
down effect.
Mencermati demokrasi di Indonesia, satu sisi kita memang patut bangga karena
Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang mampu menjalankan sistem
demokrasi dengan baik. Namun, disisi yang lain kita juga patut memperhatikan
bahwa demokrasi yang sedang berjalan saat ini apakah juga memberikan ruang pada
kaum miskin untuk mendapatkan hak-hak hidup layak dan sejahtera.
Selama ini, demokrasi masih didominasi sekaligus menjadi milik para penguasa
yang memberikan ruang selebar-lebarnya bagi penguasa dan golongan kaya. Sebab,
secara tidak langsung merekalah yang menikmati demokrasi.
*Pimpinan Redaksi Majalah Advokasia Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.