DUTA LOMBOK "MENGINFORMASIKAN DESTINASI WISATA DI LOMBOK" AYO WISATA KE LOMBOK AYO WISATA KE LOMBOK

Minggu, 25 Mei 2014

Demokrasi Milik Para Penguasa


Demokrasi Milik Para Penguasa
 Opini Ahmad Fathoni Fauzan

Menurut laporan data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 persen dari total penduduk Indonesia. Meski angka tersebut mengalami penurunan 0,52 juta dibandingkan dengan penduduk miskin per September 2012 sebesar 28,59 juta (11,66) persen, namun pemerintah masih belum dikatakan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Indonesia seharusnya adalah bangsa yang besar, wilayahnya amat luas, dengan sumber daya alamnya yang sangat melimpah ruah dan tanah yang subur. Seperti apa yang dikatakan oleh MH Ainun Najib, bahwa Indonesia adalah tegalan tanah surga. Sejatinya, hidup di negeri surga (baca: Indonesia) tidak ada orang yang mati kelaparan karena faktor kemiskinan. Namun realitasnya terbalik, banyak orang yang mati kelaparan. Siapa yang salah?
            Amartya K Sen (1981, 199) dalam studinya tentang kelaparan dan kemiskinan mengatakan bahwa demokrasi yang dijalankan melalui proses pemilihan (electoral process) akan memungkinkan kaum miskin untuk menghukum pemerintah yang membiarkan kemiskinan terjadi. Secara teoritis, demokrasi seharusnya memberikan kemakmuran pada rakyat. Sebab, keinginan rakyat dalam pemilihan langsung adalah agar pemerintah terpilih bisa memperjuangkan hak-hak rakyat.
            Namun, di Indonesia kita melihat realitas yang berbeda. Masih banyak busung lapar, pengemis jalanan, mati kelaparan dan penderitaan lainnya. Harapan besar rakyat terhadap demokrasi menjadi semu. Pemerintah yang semula menyuarakan hak-hak rakyat, kini ibarat kacang lupa pada kulitnya. Pemerintah lebih mementingkan dirinya sendiri daripada rakyatnya.
            Negara seharusnya cepat tanggap apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Alan H Peters dan Peter S Fisher dalam State Enterprise Zone Program (2002) bahwa negara harus memberi penegasan sekaligus perlindungan akses yang adil bagi semua warga dalam program pembangunan. Negara harus memiliki pandangan yang menyeluruh, lengkap dan integral terhadap persoalan dan kebutuhan warganya.
            Membiarkan rakyat kelaparan dan terkungkung dalam kemiskinan, sama halnya membunuh rakyat secara perlahan. Tumbuh suburnya kemiskinan di Indonesia akan menghambat kemajuan negara. Bahwa Indonesia adalah negara kaya raya, tetapi relitasnya masih banyak masyarakat miskin yang tidak diperhatikan. Kaum miskin banyak diperhatikan ketika kampanye politik mulai dilancarkan.
            Dalam teori kelaparan dan kemiskinan, Amartya K Sen (1999) juga menegaskan, kelaparan akan membunuh jutaan orang di berbagai negara, tetapi kelaparan tersebut tidak akan membunuh para penguasa. Jika tidak ada pemilihan umum, tidak ada partai oposisi, dan tidak ada ruang bagi publik untuk mengkritisi kebijakan yang dijalankan pemerintah, maka mereka yang memegang kekuasaan tidak akan mengalami derita konsekuensi politik akibat kegagalan mereka untuk mencegah kelaparan (kemiskinan). Demokrasi, disisi lain akan memberikan ruang penghukuman bagi para penguasa yang membiarkan kemiskinan dan kelaparan terjadi. (Teddy Lesmana, 2009).
Demokratisasi
            Pertanyaan yang patut kita jawab bersama adalah mengenai apa yang bisa diharapkan dari demokrasi kepada kaum miskin? Sebab, yang diperlukan orang miskin adalah kelayakan hidup dan kesejahteraan. Ini fakta umum yang dihadapkan sendiri oleh masyarakat miskin. Sayangnya, kesadaran pemerintah belum sampai menyentuh nuraninya.
            Selama Era Reformasi, sudah tiga kali masyarakat Indonesia melaksanakan pemilihan umum secara langsung, yaitu mulai dari tahun 1999, 2004 dan 2009. Selama itu pula demokrasi mulai menetas kembali. Meskipun demikian, kemiskinan tidak pernah bisa diselesaikan. Meleset dari analisis Amartya K Sen (1999) bahwa demokrasi lebih baik dari pada non demokrasi dalam hal transmisi yang berasal dari kaum miskin dan daerah-daerah terpencil kepada pemerintah pusat.
            Lebih lanjut, Sen juga mengatakan bahwa negara yang menjalankan sistem domokrasi cenderung membantu kaum miskin dengan menyediakan banyak barang publik dan distribusi pendapatan yang lebih merata jika dibandingkan dengan sistem non demokrasi. Teori tersebut mentah jika diterapkan di Indonesia, sebab demokrasi yang dijalankan justru memperlebar jurang pemisah antara penguasa dengan kaum miskin. Penguasa sibuk dengan dirinya sendiri, sedangkan kaum miskin sibuk untuk mencari makan hari ini.
            Terlepas dari hal itu, pengaruh politik kolonial nampaknya masih menyetir otak pemerintahan kita di Era Reformasi saat ini. Sepanjang sejarah kemiskinan di Indonesia, yaitu pada masa pemerintahan kolonial, kita masih mengenal yang namanya “politik etis” alias balas budi. Nalarnya, Indonesia adalah negeri kaya raya, tetapi rakyatnya miskin dan bodoh. Karena kaum kolonialis merasa telah “merampok” kekayaan itu sehingga diluncurkanlah politik balas budi itu melalui pendidikan, irigasi, dan kependudukan.
            Gaya politik yang demikian itu juga dilanjutkan ketika masa Orde Baru dengan menggunakan program pembangunan. Soeharto menjadi pandega yang mengatur jalannya pembangunan. Melihat hal ini, jelas yang diuntungkan adalah penguasa, sedangkan rakyat msikin menjadi tumbalnya. Politik semacam ini dinamakan tickle down effect.
            Mencermati demokrasi di Indonesia, satu sisi kita memang patut bangga karena Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang mampu menjalankan sistem demokrasi dengan baik. Namun, disisi yang lain kita juga patut memperhatikan bahwa demokrasi yang sedang berjalan saat ini apakah juga memberikan ruang pada kaum miskin untuk mendapatkan hak-hak hidup layak dan sejahtera.
            Selama ini, demokrasi masih didominasi sekaligus menjadi milik para penguasa yang memberikan ruang selebar-lebarnya bagi penguasa dan golongan kaya. Sebab, secara tidak langsung merekalah yang menikmati demokrasi.

*Pimpinan Redaksi Majalah Advokasia Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar